Rangkuman tentang kabinet Djuanda

Kabinet Djuanda (1957-1959)
Usaha Presiden Soekarno untuk mempengaruhi partai-partai agar mau membentuk kabinet berkaki empat akhirnya gagal. Kaum politisi dan partai-partai tetap mau melakukan politik “dagang sapi”. Akhirnya, Presiden menunjuk dirinya sendiri sebagai formatur untuk membentuk kabinet ekstraparlementer yang akan bertindak tegas dan yang akan membantu Dewan Nasional sesuai Konsepsi Presiden. Soekarno berhasil membentuk Kabinet Karya dengan Ir. Djuanda, tokoh yang tidak berpartai, sebagai Perdana Menteri dengan tiga wakil perdana menteri masing-masing dari PNI, NU, dan Parkindo. Kabinet ini resmi dilantik pada 9 April 1957.
Kabinet Djuanda merupakan zaken kabinet dengan beban tugas yang harus dijalankan adalah perjuangan membebaskan irian barat dan menghadapi keadaan ekonomi dan keuangan yang memburuk. Untuk menjalankan tugasnya kabinet Djuanda menyusun program kerja yang disebut dengan panca karya, sehingga kabinetnya dikenal dengan kabinet karya. Kelima pasal tersebut ialah
a. Membentuk Dewan Nasional
b. Normalisasi keadaan Republik Indonesia
c. Melanjutkan pembatalan KMB
d. Memperjuangkan Irian Barat kembali ke RI
e. Mempercepat pembangunan
Dewan Nasional merupakan amanat dari konsepsi presiden 1957. Dewan ini mempunyai fungsi menampung dan menyalurkan keinginan-keinginan kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat dan juga sebagai penasihat pemeritah untuk melancarkan roda pemerintahan dan menjaga stabilitas politik untuk mendukung pembangunan negara..
Untuk menormalisasi keadaan yang diakibatkan oleh pergolakan daerah, kabinet Djuanda pada 10-14 September 1957 melangsungkan musyawarah nasional (munas) yang di hadiri oleh tokoh-tokoh nasional dan daerah. Musyawarah ini dilakukan gedung proklamasi jalan pengangsaan timur no.56 dan membahas permasalahan pemerintahan, persoalan daerah, ekonomi, keuangan, angkatan perang, kepartaian, serta masalah dwitunggal Soekarno-Hatta. Musyawarah ini menghadirkan keputusan yang mencerminkan saling pengertian.
Untuk menindaklanjuti hasil Munas, dan dalam upaya untuk mempergiat pembangunan dilaksanakan Musyawarah Nasional Pembangunan. Musyawarah ini bertujuan khusus untuk membahas dan merumuskan usaha-usaha pembangunan sesuai dengan keinginan daerah. Pada masa ini luas wilayah Indonesia saat ini. Karena pada saat itu masih menggunakan peraturan kolonial terkait dengan batas wilayah, Zeenen Maritieme Kringen Ordonantie, 1939 pasal 1. Berdasarkan pasal ini lebar laut Indonesia 3 mil diukur dari garis air rendah daripada pulau-pulau (daratan) Indonesia. Ini menyebabkan adanya laut-laut bebas yang memisahkan antar pulau sehingga kapal-kapal asing bebas mengarungi lautan tersebut tanpa hambatan. Melihat kondisi inilah kemudian pemerintahan kabinet Djuanda mendeklarasikan hukum teritorial kelautan Nusantara. Dari deklarasi ini dapat dilihat bahwa faktor keamanan dan pertahanan merupakan aspek penting, bahkan dapat dikatakan merupakan salah satu sendi pokok kebijaksanaan pemerintah mengenai perairan Indonesia. Deklarasi tersebut kemudian dikenal sebagai deklarasi Djuanda. Deklarasi Djuanda mengandung konsep bahwa tanah air yang tidak lagi memandang laut sebagai alat pemisah dan pemecah bangsa, seperti pada
masa kolonial, namun harus dipergunakan sebagai alat pemersatu bangsa.
Meskipun deklarasi Djuanda belum memperoleh pengakuan internasional, pemerintah RI kemudian menetapkan deklarasi tersebut menjadi UU No. 4/PRP/1960 tentang perarian Indonesia. Dikeluarkannya deklarasi Djuanda membuat banyak negara yang keberatan. Untuk merundingkan penyelesaian masalah hukum laut ini pemerintah Indonesia melakukan harmonisasi hubungan diplomatik dengan negara-negara tetangga. Selain itu Indonesia juga melalui konferensi Jenewa pada tahun 1958, berusaha mempertahankan konsepsinya yang tertuang dalam deklarasi Djuanda dan memantapkan Indonesia sebagai negara kepulauan. Deklarasi Djuanda ini baru bisa diterima di dunia internasional setelah ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB yang ke-3 di Montego Bay (Jamaika) pada tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/ UNCLOS 1982). Pemerintah Indonesia kemudian meratifikasinya dalam UU No.17/ 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan.
Berakhirnya kabinet Djuanda menjadi awal peneriman gagasan untuk kembali menggunakan UUD 1945. Gagasan ini dicetuskan oleh Nasution dalam Konferensi Komando Daerah Militer pada tanggal 19 Februari 1959. Pada saat sidang, Kabinet Djuanda memutuskan untuk meminta Presiden agar memberikan amanat kepada Konstituante agar UUD 1945 kembali digunakan. Untuk memutuskan hal itu (sesuai dengan UUDS 1950), minimal dua pertiga anggota Konstituante harus menghadiri rapat dan dua pertiga anggota tersebut harus menyetujuinya. Namun mayoritas anggota Konstituante tidak menyetuju dan menghadiri rapat tersebut meskipun telah diadakan 3 kali pemungutan suara. Kemudian Presiden dipaksa oleh pihak yang bekerja sama dengan militer agar mengundang UUD 1945 kembali menggunakan dekrit. Akhirnya penyampaian dekrit Presiden dilakukan pada taggal 5 Juli 1959. Pemberlakukan Dekrit Presiden ini merupakan awal bergantinya sistem pemerintahan demokrasi liberal menjadi demokrasi terpimpin. Kemudian terjadilah proses berakhirnya kabinet Djuanda dan digantikan dengan Kabinet Kerja.

Rangkuman materi tentang kabinet Djuanda ini bersumber dari buku sejarah Indonesia kelas XII semester 1&2 cuma bagian akhir dari rangkuman saja yang tidak berasal dari buku ini

Comments

Popular posts from this blog

Tugas sejarah 3